Momentum hari raya atau lebaran, sambung Prof Katimin, benar-benar sejalan dengan makna takwa dan pembebasan. Puasa yang dilakukan sebelumnya, sebenarnya adalah nama lain dari gerakan pembebasan fitrah manusia dari sederetan hawa nafsu. Idul Fitri adalah bebas dari kekuatan-kekuatan penyanderaan tersebut.
Hal lain yang penting untuk dilakukan sejak hari raya atau lebaran, selain tetap menjaga kesuciannya, umat Islam harus dapat meningkatkan solidaritas sosialnya. Puasa Ramadan sebagai bentuk pembebasan atau pembersihan dosa-dosa pada masa lalu hendaknya jangan diartikan secara sempit.
Baca Juga:
Yin-Yang konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan Sifat Kekuatan
Puasa Ramadan juga harus diartikan sebagai pembebasan dari dosa-dosa berupa kekurangpedulian terhadap sesama. Bukankah keterbelakangan umat Islam dari berbagai aspeknya merupakan jenis dosa yang perlu segera diputihkan, sehingga setelah Idul Fitri kepedulian sosial menjadi fokus perhatian setiap pribadi-pribadi Muslim.
"Salah satu ciri orang yang bertakwa sebagaimana disebutkan Al-Quran, selain melaksanakan ibadah yang bersifat kesalehan individual (Hablum Minallah), juga melaksanakan ibadah bersifat kesalehan sosial (Hablum Minannas). Perintah ini didasarkan, iman senantiasa digandengkan dengan amal saleh (amanu wa’amilus shalihat). Perintah penegakan salat selalu dibarengi dengan perintah mengeluarkan zakat (aqimush-shalah wa atuz-zakah) yang di dalam Al-Quran disebut 82 kali," tutup Prof Katimin dalam ceramahnya. [rum]